Kehidupan mempunyai banyak dimensi, banyak lapis dan fase. Di satu
sisi, semuanya dapat berpadu bersama dalam meneruskan interaksi dinamis
satu sama lainnya. Kehidupan adalah suatu perpaduan (integrasi) dari
kesemuanya. Akan tampak bodoh bila kemudian ada usaha memisah-misahkan
dan menganalisis kehidupan sebagaimana para ilmuwan sering melihat
sesuatu hanya dalam satu bidang (sudut pandang) mikroskopik, melihat
sesuatu hanya dalam satu dimensi saja, yang akan membuat pandangan
menjadi timpang dan tidak seimbang.
Melihat dengan sudut pandang teleskopik, yang juga akan membawa pada
generalisasi yang terlalu umum sehingga justru terjadi reduksionisme
yang simplistik. Hidup dengan menggunakan visi teropong maupun
mikroskop, beresiko membawa sudut pandangnya menjadi sempit dan tidak
seimbang, karena hanya mementingkan satu aspek kehidupan dan kemudian
mengabaikan aspek-aspek lainnya. Akibat dari ketidakproporsionalan cara
pandang dan ketidakseimbangan ini jelas amat berbahaya: yaitu
terbelahnya pribadi dan masyarakat, sebagaimana orang yang hidup dalam
satu dimensi saja, atau seraya mengabaikan keutuhan kehidupan.
Sebagai contoh sederhana, misalnya seorang dokter yang hanya melihat
dan mengobati penyakit dari gejala fisik tapi sama sekali mengabaikan
faktor psikologis pasien. Atau seorang yang semata-mata melihat
kepadatan penduduk hanya sebagai angka statistik dan mengabaikan
psikologi masyarakat, sehingga diciptakannyalah transmigrasi sekelompok
masyarakat berkepribadian keras, dipaksakan untuk hidup dalam wilayah
masyarakat yang menjunjung tinggi kesopanan dan tatakrama. Pada
ujungnya, dua kelompok masyarakat tadi justru saling membunuh satu sama
lain. Di sepanjang zaman, manusia terlihat terbelenggu dalam kebodohan
semacam ini, hanya saja dalam skala yang berbeda-beda.
Ada satu hal lain dalam dimensi kehidupan kita ketika seorang manusia
tengah mencari apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan,
ternyata tidak dapat dijamin oleh limpahan harta duniawi ataupun
kedudukan di mata manusia. Kebahagiaan yang sangat tidak dapat diukur
oleh banyaknya rasa senang. Kebahagiaan sejati yang sebenarnya,
bukanlah manusia yang dapat menciptakannya. Kebahagiaan sejati akan
dapat dirasakan ketika Dzat Yang Maha Kuasa pencipta takdir, pencipta
kehidupan turun menganugerahkan kepada kita, yang kadangkala –kalau
tidak disebut seringkali— hadir tidak lewat keadaan yang kasat mata,
namun akan terasakan di dalam diri kita, di dalam batin manusia. Untuk
itulah, ketika manusia menyadari ada rasa yang lain dalam dirinya,
semestinya dia menyadari bahwa ada dimensi lain dalam dirinya yang
disebut sebagai dimensi batiniah seorang manusia, yang tidak seorang
pun dapat menyangkalnya. Sebuah dimensi yang seringkali akal manusia
tidak mampu mencernanya dengan sempurna, sehingga melahirkan bentuk
interpretasi yang beragam pula. Masing-masing menafsirkan sesuai dengan
apa yang ada dalam benak mereka.
Maka tidaklah mengherankan apabila Allah sering mengungkapkan sindiran
kepada manusia yang tidak mengakui adanya aspek batin dalam diri, yaitu
apa yang disebut dengan qalbu nurani, yang letaknya pun bukanlah
seperti apa yang digambarkan para ahli kedokteran berupa jantung, tapi
berada dalam dimensi yang berbeda. Qalbu yang di dalamnya terletak
aspek keimanan. Firmannya, “Berkata seorang Arab badui ,‘Kami telah
beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah kamu telah
tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam qalbu-mu.” (QS Al-Hujurat
[49] : 14) Qalbu juga yang menjadi tempat ujian dimana syetan yang
terkutuk akan berjuang menggelincirkan dan menyesatkan manusia ke jalan
kemurkaan Allah. Firmannya, “….Bahkan qalbu mereka telah menjadi keras
dan syetan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu
mereka kerjakan.” (QS Al-An’aam [6] : 43) “Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada qalbu mereka sampai kepada waktu mereka menemui
Allah.” (QS at-Taubah [9] : 77) Berdasarkan beberapa ayat di atas,
dapat ditarik pelajarannya bahwa, apabila kita ingin agar Alquran mampu
menyentuh qalbu manusia dengan sentuhan yang benar, dimana qalbu bisa
memperoleh manfaat dari Alquran, maka kita wajib mengobatinya terlebih
dahulu, dengan cara menjadikan qalbu itu beriman dengan
sebenar-benarnya. Oleh karena itu –bertolak dari uraian di atas— titik
perhatian yang seharusnya selalu menjadi pusat pemikiran dan kerja
pendidik sejak awal adalah perbaikan qalbu (ishlah al-qalb). Kegagalan
dalam hal ini merupakan indikator dari adanya gejala pembodohan
pendidikan, ketidaktekunan murid, atau kesalahan sistemnya. Untuk
itulah Rasulullah selalu memberikan nasihat kepada para umatnya agar
selalu berhati-hati dalam menggunakan qalbu-nya.
Demikian pula ketika kita mencoba mengkaji bentuk ibadah yang telah
Nabi ajarkan bagi umatnya, ibadah yang memegang peranan yang sangat
penting, khususnya sangat berpengaruh benar dalam upaya menumbuhkan
keimanan dan ketakwaan seorang umat Muhammad Saw., yaitu ibadah shalat.
Ketika kita hanya mengkaji ibadah ini dari aspek aturan fikih belaka,
atau aturan lahiriahnya, maka tidak heran apabila kita menemukan umat
Islam merasa sangat berat, apalagi ibadah ini harus dilakukannya
sepanjang hidupnya sehari lima kali. Pada era modern ini, kita bahkan
banyak menemukan umat sudah tidak lagi merasa bergairah menjalankan
ibadah shalat, kalau tidak ingin disebut jarang melengkapi lima waktu
tersebut. Mereka yang cukup rajin pun sudah sering merasa kekeringan
dalam pelaksanaan shalat tersebut. Ini disebabkan karena dimensi
batinnya telah lama tidak mereka rasakan. Shalat tidak lagi dijadikan
sebagai sarana indikator kedekatan mereka dengan Allah. Shalat tidak
lagi dikejar karena mereka merasakan tidak banyaknya manfaat yang bisa
diperoleh ketika shalat, selain dari sekedar melaksanakan kewajiban
saja. Tapi akan dirasakan berbeda apabila setiap Muslim mencari manfaat
apa sebenarnya yang dapat diperoleh ketika mereka menjalankan shalat?
Mengapa Allah menurunkan bentuk kewajiban shalat tersebut kepada umat
Islam? Apakah shalat itu merupakan kewajiban bagi manusia agar dapat
menyembah Tuhannya belaka, tanpa ada faidah bagi penyembahnya itu
sendiri? Apabila pertanyaan demi pertanyaan tersebut dapat terjawab,
maka umat Islam tentunya akan dapat memaknai setiap gerak hidupnya
dengan benar.
Mari kita perhatikan beberapa ungkapan Nabi selaku pembawa risalah
kebenaran ini. Rasulullah bersabda, “Apabila shalat seseorang tidak
mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, maka ia tidak mendapat apa
pun kecuali semakin bertambah jauh darinya.” Nabi juga bersabda,
“Banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi yang diperolehnya tiada
lain hanyalah letih dan payah, karena melaksanakan shalat itu sendiri.”
(H.R. An-Nasa’i). “Tiada diperoleh seorang hamba dari shalatnya
kecuali apa ada dalam pikirannya pada saat melaksanakan shalat.” (HR
Abu Dawud dan Nasa’i). Alangkah beruntungnya ketika seorang hamba
memahami makna shalat sebenarnya sebagaimana Rasulullah ungkapkan,
“Ketika ia melaksanakan shalat, seorang hamba tengah bercakap mesra dan
akrab dengan Tuhannya.” (HR Bukhari Muslim). Inilah makna sebenarnya
ibadah shalat, ibadah yang mengandung sebuah hubungan batin seorang
hamba dengan Sang Pencipta, ibadah yang bernuansa sakral karena
keyakinan manusia yang berada dalam dimensi batiniyah dalam mengadakan
hubungan khusus dengan zat yang ghaib. Inilah makna ihsan. Allah
mewajibkan shalat kepada setiap umat Muhammad, karena dalam ibadah itu
terkandung sebuah makna pengabdian yang tinggi seorang hamba kepada
Penciptanya. Dalam ibadah shalat juga, seandainya dilakukan secara
ikhlas, tidak karena semata-mata menjalankan beban kewajiban, akan
diperoleh limpahan cahaya petunjuk dari Allah yang berfungsi
menjernihkan hati nurani atau qalbu setiap hamba Allah yang beribadah
secara ikhlas tersebut. Setiap rakaat shalat memiliki makna yang sangat
mendalam karena hadirnya proses pensucian jiwa yang tadinya terkotori
oleh tindakan dosa kita. Untuk itulah kering atau gersang tidaknya
ibadah shalat kita bergantung dari seberapa besar motivasi kita dalam
melaksakan ibadah tersebut. Sedangkan seringkali, untuk mendapatkan
motivasi, kita membutuhkan ‘bahan bakar’ berupa pemahaman maupun
keluasan cakrawala pandang untuk lebih memahami persoalan.
Dalam sisi dimensi batin lainnya, gerakan shalat memiliki makna
simbolik yang sangat mendalam. Sejak posisi berdiri, ruku dan sujud
merupakan sebuah proses perjalanan manusia dalam rangka mencari
kebenaran, mencari pemilik kebenaran, proses pendakian menuju kasih
sayang dan kedekatan Allah Azza wa Jalla. Simbol tersebut merupakan
langkah yang harus kita tempuh dalam rangka upaya manusia agar dapat
menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok akan
lebih baik dari hari ini. Posisi berdiri melambangkan posisi akal atau
rasio berada di atas qalbu manusia, artinya pada awal kehidupan, kita
menempatkan akal kita terlebih dahulu sebelum menggunakan qalbu, atau
bahkan tidak menggunakan qalbunya. Kondisi ini pula yang dialami oleh
sebagian besar umat Islam sekarang. Mereka begitu mengagungkan akal,
aspek lahiriyah dan mengabaikan qalbu dalam memutuskan kebenaran sebuah
persoalan. Bagi seorang hamba yang berharap banyak memperoleh
kebenaran, dia tidak akan pernah merasa puas dengan posisi pertama. Dia
akan berjuang melangkah pada posisi berikutnya yaitu posisi ruku’,
yaitu memposisikan akal sejajar dengan qalbu. Ada hubungan yang
seimbang dalam pertimbangan tentang sebuah persoalan, melibatkan qalbu
dan akal sejajar, saling membantu dan bekerja sama, saling menyediakan
dan menyatukan data ‘bumi’ dan data ‘langit’ untuk diaplikasikan dalam
persoalan kehidupannya.
Dan posisi yang terbaik dalam kehidupan manusia beriman adalah posisi
sujud, yang disebutkan juga oleh Rasulullah sebagai posisi terdekat
seorang hamba dengan Tuhannya, yaitu ketika menempatkan qalbu di atas
akalnya. Ketika akal atau aspek lahiriyah melihat sebuah persoalan,
akal mencernanya dengan maksimal, baru qalbu yang telah hidup karena
telah tersucikan dari dosa menjadi hakim, menjadi raja dalam memutuskan
langkah berikutnya. Sedangkan pada tahap ini, rasio akan menjadi
penasihat terdekat dari Qalbunya, dalam hal penerapan dan
pengaplikasian petunjuk Allah ke alam mulk, atau alam fisik ini. Nabi
bersabda, “Seorang hamba tidak akan pernah lebih dekat kepada Allah
Swt. Kecuali ketika ia tengah bersujud.” (HR Muslim). Saad bin Jubair
pernah berkata, “Tiada sesuatu pun di dunia ini yang kumintai
pertolongan kecuali lewat sujud dalam shalat.” Sedang ‘Uqbah bin Muslim
berkata, “Tiada sesuatu pada manusia yang lebih disukai Allah selain
memperlama perjumpaan dengan-Nya. Dan tiada saat dalam kehidupan manusia
yang teramat dekat dengan-Nya, kecuali ketika ia tersungkur bersujud
kepada-Nya.” Abu Hurairah ra. pernah berkata, “Saat paling dekatnya
seorang hamba kepada-Nya ialah ketika ia sedang bersujud, dan kemudian
memperbanyak doa.” Semua kata-kata tadi mengisyaratkan, bahwa untuk
senantiasa ada dalam posisi terdekat dengan Allah bukanlah semata-mata
kita harus sujud setiap saat. Hal ini, dalam dimensi yang lebih dalam,
juga berarti seorang hamba akan senantiasa dalam keadaan yang terdekat
dengan Allah ketika Qalbunya telah hidup dan suci, yang mampu
menempatkan dirinya untuk berada dalam posisi diatas rasionya.
Demikianlah uraian yang sangat singkat dalam memaparkan aspek