Kamis, 11 Oktober 2012

Resep Mie Sagu II



Bahan

* 1/2 kg mie sagu, di cuci dan direndam
* 2 ons tauge, dibuang ujungnya, dicuci bersih
* 1 keping tahu, dicuci bersih, keping-kepingkan
* Sayur kol secukupnya (potong halus)
* 200 mL air
* Minyak goreng secukupnya
* Kecap asin secukupnya
* Garam dan ajinomoto secukupnya
* Cabe merah secukupnya, dihaluskan
* Daun sup secukupnya, dipotong halus

Cara Mengolah

1. Siapkan wajan, panaskan minyak goreng secukupnya. Ratakan sayur kol dengan garam kemudian goreng hingga mendekati warna coklat, angkat
sayur kol.
2. Sekarang masukkan 3 sendok minyak goreng, panaskan lalu masukkan
sayur kol, tao ge, kepingan tahu dan cabe merah, aduk hingga rata.
3. Masukkan mie sagu, aduk hingga rata.
4. Tambahkan air sedikit supaya tidak terlalu kering lalu tambahkan kecap
asin, garam dan ajinomoto secukupnya. Aduk hingga matang.
5. Mie sagu siap dihidangkan (tambahkan daun sup dan sayur kol
yang telah digoreng tadi di atas hidangan untuk pengharum aroma)

 


Sekarang pemasaran Mie Sagu inipun sudah bisa Online

Arti Makna Kehidupan





Kehidupan mempunyai banyak dimensi, banyak lapis dan fase. Di satu sisi, semuanya dapat berpadu bersama dalam meneruskan interaksi dinamis satu sama lainnya. Kehidupan adalah suatu perpaduan (integrasi) dari kesemuanya. Akan tampak bodoh bila kemudian ada usaha memisah-misahkan dan menganalisis kehidupan sebagaimana para ilmuwan sering melihat sesuatu hanya dalam satu bidang (sudut pandang) mikroskopik, melihat sesuatu hanya dalam satu dimensi saja, yang akan membuat pandangan menjadi timpang dan tidak seimbang.

Melihat dengan sudut pandang teleskopik, yang juga akan membawa pada generalisasi yang terlalu umum sehingga justru terjadi reduksionisme yang simplistik. Hidup dengan menggunakan visi teropong maupun mikroskop, beresiko membawa sudut pandangnya menjadi sempit dan tidak seimbang, karena hanya mementingkan satu aspek kehidupan dan kemudian mengabaikan aspek-aspek lainnya. Akibat dari ketidakproporsionalan cara pandang dan ketidakseimbangan ini jelas amat berbahaya: yaitu terbelahnya pribadi dan masyarakat, sebagaimana orang yang hidup dalam satu dimensi saja, atau seraya mengabaikan keutuhan kehidupan.

Sebagai contoh sederhana, misalnya seorang dokter yang hanya melihat dan mengobati penyakit dari gejala fisik tapi sama sekali mengabaikan faktor psikologis pasien. Atau seorang yang semata-mata melihat kepadatan penduduk hanya sebagai angka statistik dan mengabaikan psikologi masyarakat, sehingga diciptakannyalah transmigrasi sekelompok masyarakat berkepribadian keras, dipaksakan untuk hidup dalam wilayah masyarakat yang menjunjung tinggi kesopanan dan tatakrama. Pada ujungnya, dua kelompok masyarakat tadi justru saling membunuh satu sama lain. Di sepanjang zaman, manusia terlihat terbelenggu dalam kebodohan semacam ini, hanya saja dalam skala yang berbeda-beda.

Ada satu hal lain dalam dimensi kehidupan kita ketika seorang manusia tengah mencari apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan, ternyata tidak dapat dijamin oleh limpahan harta duniawi ataupun kedudukan di mata manusia. Kebahagiaan yang sangat tidak dapat diukur oleh banyaknya rasa senang. Kebahagiaan sejati yang sebenarnya, bukanlah manusia yang dapat menciptakannya. Kebahagiaan sejati akan dapat dirasakan ketika Dzat Yang Maha Kuasa pencipta takdir, pencipta kehidupan turun menganugerahkan kepada kita, yang kadangkala –kalau tidak disebut seringkali— hadir tidak lewat keadaan yang kasat mata, namun akan terasakan di dalam diri kita, di dalam batin manusia. Untuk itulah, ketika manusia menyadari ada rasa yang lain dalam dirinya, semestinya dia menyadari bahwa ada dimensi lain dalam dirinya yang disebut sebagai dimensi batiniah seorang manusia, yang tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Sebuah dimensi yang seringkali akal manusia tidak mampu mencernanya dengan sempurna, sehingga melahirkan bentuk interpretasi yang beragam pula. Masing-masing menafsirkan sesuai dengan apa yang ada dalam benak mereka.

Maka tidaklah mengherankan apabila Allah sering mengungkapkan sindiran kepada manusia yang tidak mengakui adanya aspek batin dalam diri, yaitu apa yang disebut dengan qalbu nurani, yang letaknya pun bukanlah seperti apa yang digambarkan para ahli kedokteran berupa jantung, tapi berada dalam dimensi yang berbeda. Qalbu yang di dalamnya terletak aspek keimanan. Firmannya, “Berkata seorang Arab badui ,‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah kamu telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam qalbu-mu.” (QS Al-Hujurat [49] : 14) Qalbu juga yang menjadi tempat ujian dimana syetan yang terkutuk akan berjuang menggelincirkan dan menyesatkan manusia ke jalan kemurkaan Allah. Firmannya, “….Bahkan qalbu mereka telah menjadi keras dan syetan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS Al-An’aam [6] : 43) “Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada qalbu mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah.” (QS at-Taubah [9] : 77) Berdasarkan beberapa ayat di atas, dapat ditarik pelajarannya bahwa, apabila kita ingin agar Alquran mampu menyentuh qalbu manusia dengan sentuhan yang benar, dimana qalbu bisa memperoleh manfaat dari Alquran, maka kita wajib mengobatinya terlebih dahulu, dengan cara menjadikan qalbu itu beriman dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu –bertolak dari uraian di atas— titik perhatian yang seharusnya selalu menjadi pusat pemikiran dan kerja pendidik sejak awal adalah perbaikan qalbu (ishlah al-qalb). Kegagalan dalam hal ini merupakan indikator dari adanya gejala pembodohan pendidikan, ketidaktekunan murid, atau kesalahan sistemnya. Untuk itulah Rasulullah selalu memberikan nasihat kepada para umatnya agar selalu berhati-hati dalam menggunakan qalbu-nya.

Demikian pula ketika kita mencoba mengkaji bentuk ibadah yang telah Nabi ajarkan bagi umatnya, ibadah yang memegang peranan yang sangat penting, khususnya sangat berpengaruh benar dalam upaya menumbuhkan keimanan dan ketakwaan seorang umat Muhammad Saw., yaitu ibadah shalat. Ketika kita hanya mengkaji ibadah ini dari aspek aturan fikih belaka, atau aturan lahiriahnya, maka tidak heran apabila kita menemukan umat Islam merasa sangat berat, apalagi ibadah ini harus dilakukannya sepanjang hidupnya sehari lima kali. Pada era modern ini, kita bahkan banyak menemukan umat sudah tidak lagi merasa bergairah menjalankan ibadah shalat, kalau tidak ingin disebut jarang melengkapi lima waktu tersebut. Mereka yang cukup rajin pun sudah sering merasa kekeringan dalam pelaksanaan shalat tersebut. Ini disebabkan karena dimensi batinnya telah lama tidak mereka rasakan. Shalat tidak lagi dijadikan sebagai sarana indikator kedekatan mereka dengan Allah. Shalat tidak lagi dikejar karena mereka merasakan tidak banyaknya manfaat yang bisa diperoleh ketika shalat, selain dari sekedar melaksanakan kewajiban saja. Tapi akan dirasakan berbeda apabila setiap Muslim mencari manfaat apa sebenarnya yang dapat diperoleh ketika mereka menjalankan shalat? Mengapa Allah menurunkan bentuk kewajiban shalat tersebut kepada umat Islam? Apakah shalat itu merupakan kewajiban bagi manusia agar dapat menyembah Tuhannya belaka, tanpa ada faidah bagi penyembahnya itu sendiri? Apabila pertanyaan demi pertanyaan tersebut dapat terjawab, maka umat Islam tentunya akan dapat memaknai setiap gerak hidupnya dengan benar.

Mari kita perhatikan beberapa ungkapan Nabi selaku pembawa risalah kebenaran ini. Rasulullah bersabda, “Apabila shalat seseorang tidak mencegahnya dari berbuat keji dan munkar, maka ia tidak mendapat apa pun kecuali semakin bertambah jauh darinya.” Nabi juga bersabda, “Banyak orang yang melaksanakan shalat, tetapi yang diperolehnya tiada lain hanyalah letih dan payah, karena melaksanakan shalat itu sendiri.” (H.R. An-Nasa’i). “Tiada diperoleh seorang hamba dari shalatnya kecuali apa ada dalam pikirannya pada saat melaksanakan shalat.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i). Alangkah beruntungnya ketika seorang hamba memahami makna shalat sebenarnya sebagaimana Rasulullah ungkapkan, “Ketika ia melaksanakan shalat, seorang hamba tengah bercakap mesra dan akrab dengan Tuhannya.” (HR Bukhari Muslim). Inilah makna sebenarnya ibadah shalat, ibadah yang mengandung sebuah hubungan batin seorang hamba dengan Sang Pencipta, ibadah yang bernuansa sakral karena keyakinan manusia yang berada dalam dimensi batiniyah dalam mengadakan hubungan khusus dengan zat yang ghaib. Inilah makna ihsan. Allah mewajibkan shalat kepada setiap umat Muhammad, karena dalam ibadah itu terkandung sebuah makna pengabdian yang tinggi seorang hamba kepada Penciptanya. Dalam ibadah shalat juga, seandainya dilakukan secara ikhlas, tidak karena semata-mata menjalankan beban kewajiban, akan diperoleh limpahan cahaya petunjuk dari Allah yang berfungsi menjernihkan hati nurani atau qalbu setiap hamba Allah yang beribadah secara ikhlas tersebut. Setiap rakaat shalat memiliki makna yang sangat mendalam karena hadirnya proses pensucian jiwa yang tadinya terkotori oleh tindakan dosa kita. Untuk itulah kering atau gersang tidaknya ibadah shalat kita bergantung dari seberapa besar motivasi kita dalam melaksakan ibadah tersebut. Sedangkan seringkali, untuk mendapatkan motivasi, kita membutuhkan ‘bahan bakar’ berupa pemahaman maupun keluasan cakrawala pandang untuk lebih memahami persoalan.

Dalam sisi dimensi batin lainnya, gerakan shalat memiliki makna simbolik yang sangat mendalam. Sejak posisi berdiri, ruku dan sujud merupakan sebuah proses perjalanan manusia dalam rangka mencari kebenaran, mencari pemilik kebenaran, proses pendakian menuju kasih sayang dan kedekatan Allah Azza wa Jalla. Simbol tersebut merupakan langkah yang harus kita tempuh dalam rangka upaya manusia agar dapat menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok akan lebih baik dari hari ini. Posisi berdiri melambangkan posisi akal atau rasio berada di atas qalbu manusia, artinya pada awal kehidupan, kita menempatkan akal kita terlebih dahulu sebelum menggunakan qalbu, atau bahkan tidak menggunakan qalbunya. Kondisi ini pula yang dialami oleh sebagian besar umat Islam sekarang. Mereka begitu mengagungkan akal, aspek lahiriyah dan mengabaikan qalbu dalam memutuskan kebenaran sebuah persoalan. Bagi seorang hamba yang berharap banyak memperoleh kebenaran, dia tidak akan pernah merasa puas dengan posisi pertama. Dia akan berjuang melangkah pada posisi berikutnya yaitu posisi ruku’, yaitu memposisikan akal sejajar dengan qalbu. Ada hubungan yang seimbang dalam pertimbangan tentang sebuah persoalan, melibatkan qalbu dan akal sejajar, saling membantu dan bekerja sama, saling menyediakan dan menyatukan data ‘bumi’ dan data ‘langit’ untuk diaplikasikan dalam persoalan kehidupannya.

Dan posisi yang terbaik dalam kehidupan manusia beriman adalah posisi sujud, yang disebutkan juga oleh Rasulullah sebagai posisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya, yaitu ketika menempatkan qalbu di atas akalnya. Ketika akal atau aspek lahiriyah melihat sebuah persoalan, akal mencernanya dengan maksimal, baru qalbu yang telah hidup karena telah tersucikan dari dosa menjadi hakim, menjadi raja dalam memutuskan langkah berikutnya. Sedangkan pada tahap ini, rasio akan menjadi penasihat terdekat dari Qalbunya, dalam hal penerapan dan pengaplikasian petunjuk Allah ke alam mulk, atau alam fisik ini. Nabi bersabda, “Seorang hamba tidak akan pernah lebih dekat kepada Allah Swt. Kecuali ketika ia tengah bersujud.” (HR Muslim). Saad bin Jubair pernah berkata, “Tiada sesuatu pun di dunia ini yang kumintai pertolongan kecuali lewat sujud dalam shalat.” Sedang ‘Uqbah bin Muslim berkata, “Tiada sesuatu pada manusia yang lebih disukai Allah selain memperlama perjumpaan dengan-Nya. Dan tiada saat dalam kehidupan manusia yang teramat dekat dengan-Nya, kecuali ketika ia tersungkur bersujud kepada-Nya.” Abu Hurairah ra. pernah berkata, “Saat paling dekatnya seorang hamba kepada-Nya ialah ketika ia sedang bersujud, dan kemudian memperbanyak doa.” Semua kata-kata tadi mengisyaratkan, bahwa untuk senantiasa ada dalam posisi terdekat dengan Allah bukanlah semata-mata kita harus sujud setiap saat. Hal ini, dalam dimensi yang lebih dalam, juga berarti seorang hamba akan senantiasa dalam keadaan yang terdekat dengan Allah ketika Qalbunya telah hidup dan suci, yang mampu menempatkan dirinya untuk berada dalam posisi diatas rasionya.

Demikianlah uraian yang sangat singkat dalam memaparkan aspek

Minggu, 07 Oktober 2012

Mie Sagu dan Cara Pengolahannya

Mie sagu merupakan hasil olahan dari tepung sagu. Tepung sagu selain dibuat menjadi mie sagu dapat juga  digunakan untuk membuat beraneka ragam makanan seperti lempeng, gobak, kepurun, kerupuk sagu dan sebagainya. Makanan yang paling khas biasanya adalah mie sagu, Kalau berkunjung ke Selat Panjang rasanya tak  lengkap kalau tidak membawa buah tangan atau oleh-oleh. Salah satu yang menjadi oleh-oleh khas Selat Panjang adalah Mie sagu, sebagai daerah penghasil Sagu terbesar di Riau  Selat Panjang dijuluki kota sagu. Bagi yang berkunjung ke kota sagu ini, bisa juga langsung mencicipi mie sagu yang ada di jual di warung-warung.



        Sekarang, penyajian makanan ini sudah beragam ada mie sagu kering, mie sagu lembab dan mie sagu basah (berkuah). Mie sagu biasanya juga disajikan dengan telur, udang basah ataupun udang kering (ebi), dan penyajian vegetarian. Mie sagu diolah sedemikian rupa sesuai dengan selera peminatnya. Namun, penyajian mie sagu klasik (seperti di photo), yang hanya ditaburkan daun sup (kucai), tetap menjadi favorit. Apalagi mie sagunya dibungkus pakai daun pisang, aromanya menjadi khas sekali.

Spesialnya lagi mie sagu ini adalah menjadi makanan diet bagi penderita kencing manis atau diabetes. Diet dengan menyantap makanan dari sagu terbukti mampu menurunkan gula darah penderita diabetes, karena kandungan karbohidrat dalam sagu sangat rendah sekali.

Resep I Mie Sagu

Bahan :
1. Mie sagu
2. Bawang Merah, di iris2
3. Bawang Putih, sesuai selera
4. Kol, di iris kecil2
5. Tauge
6. Buncis, di iris
7. Wortel, d iris
8. Seledri
9. Cabe, sesuaikan dengan selera
10. Kecap Manis
11. Saus
12. Garam
13. Penyedap Rasa
14. Ketimun, di iris kecil2
15. Teri
16. Bawang Goreng
17. Kerupuk yang sudah di goreng 

Cara Membuat :
1. Mie Sagu direndam dengan air, dan tiriskan.
2. Tumis bawang merah, bawang putih, seledri,cabe rawit, di aduk rata.
3. Masukkan teri, terus di aduk.
4. Masukkan kol, buncis, wortel.
5. Kemudian masukkan mie sagu lalu di aduk rata dan masukkan kecap manis, garam, saus, tauge.
6. Yang terakhir masukkan ketimun.
7. Mie sagu goreng siap disajikan, jangan lupa di sajikan dengan bawang goreng dan kerupuk.
Untuk masakan lainnya akan kita bahas lagi nanti

Template by:

Free Blog Templates